HAK-HAK SESAMA MUSLIM (Kajian Hadits)
HAK-HAK MUSLIM ATAS MUSLIM
حُقُوْقُ الْمُسْلِمِ عًلَى الْمُسْلِمِ
(Bagian Kedua)
Oleh Sofyan Munawar
Fungsi dan Aplikasi
Menurut Al-Ustadz Aceng Zakariya
dalam makalahnya bahwa salam memiliki beberapa fungsi, yaitu:
1.
Salam liqo (salam
perjumpaan).
Salam yang diucapkan pada setiap kali perjumpaan
dengan sesama muslim. Salam ini disebut juga salam littahiyyah (salam
penghormatan). Hal ini sesuai dengan bunyi hadits di atas bahwa “Hak muslim
atas muslim itu ada enam (antara lain): Apabila kamu bertemu dengannya,
hendaklah engkau memberi salam kepadanya…” (HR. al-Bukhari dan Muslim). Juga hadits riwayat Abu Dawud berikut ini :
إِذَا لَقَيَ
أَحَدُكُمْ صَاحِبَهُ فَلْيُسَلِّمْ عَلَيْهَ
“Apabila seseorang kamu bertemu dengan
kawannya, maka ucapkanlah samalm kepadanya”
Dalam tata laksananya
salam jenis ini diberi tuntunan sedemikian lengkap oleh Rasulullah saw. yaitu :
a) Hendaklah yang lebih muda
memberi salam kepada yang lebih tua, yang berjalan kepada yang duduk, yang
sedikit kepada yang banyak dan yang berkendaraan kepada yang berjalan. Rasdulullah saw bersabda,
لِيُسَلِّمُ
الصَّغِيْرُ عَلَى الْكَبِيْرِ وَالْمَارُّ عَلَى الْقَاعِدِ وَالْقَلِيْلُ عَلَى
الْكَثِيْرِ, وَفِى رِوَايَةِ الْمُسْلِمِ : وَالرَّاكِبُ عَلَى الْمَاشِى
“Hendaklah yang muda memberi salam
kepada yang tua, yang berjalan kepada yang duduk, yang sedikit kepada yang
banyak dan yang berkendaraan kepada yang berjalan”. (HR. Al-Bukhari, Muslim dan Abu
Dawud).
b) Bila dua orang atau dua rombongan bertemu
maka yang paling baik dari antara keduanya ialah yang paling dahulu mengucapkan
salam, sesuai dengan sabda Nabi saw :
إِنَّ أَوْلَى
النَّاسِ بِاللهِ مَنْ بَدَأَهُمْ بِالسَّلاَمِ
“Sesungguhnya orang yang paling dekat dengan
(rahmat) Allah dari antara dua orang yang bertemu ialah yang terlebih dahulu
memberi salam”.
(HR. Abu Dawud).
Namun, bila yang
berjumpa itu dua berombongan, maka ucapan salam cukup diwaliki oleh salah
seorang di antara mereka, demikian juga menjawabnya. Rasulullah saw bersabda,
يُجْزِئُ عَنِ
الْجَمَاعَةِ إِذَا مَرُّوْا أَنْ يُسَلِّمَ أَحَدُهُمْ وَيُجْزِئُ عَنِ
الْجَمَاعَةِ أَنْ يَرُدَّ أَحَدُهُمْ
“Apabila satu rombongan berjalan, cukuplah
salah seorang dari mereka memberi salam, dan cukup (pula) seseorang dari antara
mereka menjawabnya”. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Baihaqi).
Salam liqo ini tetap
berlaku jika yang bertemu itu antara laki-laki muslim dan wanita muslimah. Hal
ini ditunjukkan oleh hadits berikut :
قَالَتْ أَسْمَاء
مَرَّ عَلَيْنَا النَّيِيُّ فِى
النِّسْوَةِ فَسَلَّمَ عَلَيْنَا
“Kata Asma, Nabi saw lewat kepada kami,
para wanita, dan beliau memberi salam kepada kami”. (HR. Abu Dawud).
Demikian juga terhadap anak-anak. Rasululah saw telah memberi
tuntunan dalam rangka pendidikan agar mengucapkan salam bila bertemu dengan
anak-anak :
أَنَّ
النَّبِيَّ مَرَّ عَلَى غِلْمَانٍ
يَلْعَبُوْنَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ
“Bahwasanya Rasululah lewat di kerumunan
anak-anak yang sedang bermain, lalu beliau mengcapkan salam kepada mereka”. (HR. Al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud).
Salam liqo atau tahiyyah ini hanya
berlaku di antara sesama kaum muslimin. Nabi saw melarang seorang muslim
mengucapkan salam kepada non muslim. Rasulullah saw bersabada.
لاَتَبْدَؤُؤْا الْيَهُوْدَ
وَلاَ النَّصَارَى بِالسَّلاَمِ….
“Janganlah kamu mulai salam kepada Yahudi dan
Nasrani….”. (HR.
Muslim).
Bagaimana jika orang non muslim mengucapkan
salam kepada kita? Rasulullah saw memberi tuntunan :
إِذَا سَلَّمَ
عَلَيْكُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ فَقُوْلُوْا : وَعَلْيْكُمْ!
“Apabila Ahli Kitab mengucapkan salam kepada
kamu, maka jawablah “wa
‘alaikum”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Rasulullullah saw tidak pernah mengucapkan
salam terhadap orang non Muslim
(khususnya Ahli Kitab). Adapun salam yang beliau tulis dalam suratnya terhadap Kaisar Romawi, Heraclius
yang Nasrani, bukan salam dalam arti memberi atau mengucapkan salam,
tetapi mengajak agar Heraclius masuk
Islam yang dengannya akan memperoleh keselamatan. Dalam suratnya kepada Heraclius itu beliau
menulis :
اَلسَّلاَمُ عَلَى
مَنِ اتَّبَعَ الْهُدَى
“Keselamatan atas orang-orang yang mengukuti
petunjuk (Islam)”. (HR.
Al-Bukhari dan Muslim)
c) Orang yang mendapat ucapan salam dianjurkan menjawab/membalas dengan yang
lebih baik dari si pemberi salam. Maksudnya, bila seseorang menyapa dengan “Assalâmu’alaikum”. Maka jawaban yang bebih baik adalah, “Wa ‘alaikum salâm wa rohmatulôh“. Bila sapaannya “Asalâmu’alaikum wa rohmatullôh”. Jawaban yang lebih utama adalah, “Wa ‘alaikum salâm wa rohmatullôh wa barokâtuh”. Namun, bila ucapan
salamnya sempurna yaitu “Assâlamu’alaikum wa rohmatullôhi wa barokâtuh”. Maka jawablah dengan yang sepadan, yaitu : “wa
‘alaikum salâm
wa rohmatullôhi wa barokâuh”. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah dalam
surat An-Nisa (4) ayat 86 (yang artinya) : “Wahai kaum mukmin, bila kalian
diberi ucapan salam oleh sesama mukmin, hendaklah kalian membalasnya dengan
ucapan salam yang lebih baik atau ucapan salam yang sama. Allah pasti membalas
semua perbuatan kalian.”
d) Dalam konteks ini maka pahala yang didapat oleh orang
yang mengucapkan salam sesuai dengan ucapan salamnya itu. Dalam sebuah riwayat
diterangkan, “Seorang laki-laki datang kepada Nabi saw, lalu ia berkata : “Assâamu ‘alaikum”. Maka Nabi saw menjawab salamnya, dan bersabda : “Sepuluh
(pahalanya)”, lalu orang itu duduk. Kemudian datang lagi yang
lainnya, ia berkata : “Assalâmu’alaikum wa rohmatullôh”. Maka Nabi saw menjawab salamnya, dan bersabda : “Dua
pululuh (pahalanya)”, lalu orang itu duduk. Dan datang pula yang lainnya, ia berkata : Assalâmu’alaikum wa rohmatulLôhi wa barokâtuh Maka Rasulullah saw menjawab salamnya, dan bersabda :
“Tiga puluh (pahalanya)”. (HR. Al-Bukhari, an-Nasai dan at-Tirmidzi).
e) Bila dalam suatu majlis terdapat
orang-orang non muslim, tetaplah memberi salam kepada para muslimin, sesuai
dengan riwayat berikut ini :
أَنَّ النَّبِيَّ مَرَّ عَلَى مَجْلِسٍ فِيْهِ أَخْلاَطٌ مِنَ
الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُشْرِكِيْنَ عَبَدَةِ اْلأَوْثَانِ وَالْيَهُوْدِ فَسَلَّمَ
عَلَيْهِمْ
“Bahwa Rasulullah lewat dikerumunan orang
muslim, musyrikin penyembah berhala dan orang-orang Yahudi, lalu Rasulullah
salam kepada mereka (orang muslim)”. (HR. al-Bukhari).
f) Bagaimana bila kita menerima titipan salam? Jawabannya
sebagaimana diterangkan dalam riwayat berikut ini. Rasulullah saw berkata
kepada ‘Aisyah :
هَذَا
جِبْرِيْلُ يَقْرَأُ عَلَيْكِ السَّلاَمَ, فَقَالَتْ : وَعَلَيْهِ السَّلاَمُ
وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ.
“(Hai ‘Aisyah)! Sesunguhnya Jibril mengucapkan salam
kepadamu. ‘Aisyah menjawab
: ‘Wa ‘alaihis-salam wa rohmatullah wa barakatuh”. (HR. Al-Bukhari dan
Muslim).
Dan dalam riwayat Abu Dawud diterangkan bahwa
seseorang dari kabilah Bani Tamim datang kepada Rasulullah saw, ia berkata, “Ya
Rasulullah, bapakmu menyampaikan salam untukmu.” Nabi saw. pun menjawab : “’alaika wa ‘ala abika as-salam”(untukmu
dan untuk bapakmu keselamatan). (HR.
Abu Dawud).
2.
Salam lil-firaq (salam distiap
akhir perjumpaan)
Salam tidak
hanya diucapkan saat perjumpaan saja tapi juga diucapkan saat berpisah. Salam corak kedua ini disebut salam lilfiraq. Nabi saw bersabda,
إِذَا قَعَدَ أَحَدُكُمْ فَلْيُسَلِّمْ وَإِذَا قَامَ فَلْيُسَلِّمْ وَلَيْسَتِ اْلأُوْلَى أَحَقُّ مِنَ اْلآخِرَةِ
“Apabila
seseorang kamu datang ke suatu majlis, ucapkanlah salam; dan apabila hendak
menginggalkan/berpisah, ucapkan (pula) salam, dan salam yang pertama tidak
lebih utama daripada salam yang terakhir”. (HR. Ahmad, Al-Bukhari, Abu
Dawud dan At-Tirmidzi)).
Adapun hukum memulai salam adalah
sunnah, sedang menjawabnya adalah wajib.
3.
Salam litta’abbud
Salam
litta’abbud maksudnya salam untuk ibadah, yaitu salam yang diucapkan untuk mengakhiri
shalat. Orang yang melaksanakan shalat, baik yang wajib maupun sunnah, munfarid
maupun berjamaah, imam ataupun makmum wajib mengakhiri shalatnya dengan salam.
Kedudukan salam di akhir shalat sama seperti takbiratul ihram di awal
shalat yaitu bersifat ta’abbudi yakni ibadah yang aturannya telah
ditetapkan secara baku, yang dalam menjalankannya seorang muslim
harus tunduk secara
utuh tanpa melihat pada sebab
atau maksudnya. Ucapan salam di akhir shalat merupakan salah
satu rukun shalat
dan penutup shalat, maka
mengucapkannya adalah wajib.
4.
Salam Lil-isti’dzan
Salam model keempat ini diucapkan ketika kita hendak bertamu ke rumah orang
lain. Inilah bimbingan yang diberikan Al-Qur’an kepada kaum muslimin. Allah Ta’ala
berfirman,
يَااَيُّهَا
الَّذِيْنَ أَمَنُوْا لاَتَدْخُلُوْا بُيُوْتًا غَيْرَ بُيُوْتِكُمْ حَتَّى
تَسْتَأْنِسُوْا وَتُسَلِّمُوْا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
“Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah orang mukmin sebelum meminta idzin dan mengucapkan
salam kepada penghuninya. Minta izin dan mengucapkan salam lebih dahulu itu
lebih baik bagi kalian daripada langsung masuk, agar kalian tahu bagaimana
menghormati kemuliaan orang lain.” (Q.S. An-Nur
[24]:27).
Berdasarkan
ayat di atas bila kita memasuki rumah orang lain hendaklah meminta izin
terlebih dahulu kemudian memberi salam. Namun dalam praktiknya tidak demikian,
tetapi kebalikannya yaitu memberi salam terlebih dahulu baru meminta izin setelah
dijawab salamnya. Inilah adab yang dicontohkan oleh Rasulullah saw sebagaimana tergambar dalam riwayat
berikut.
Kata Rabi’, seorang lelaki dari Bani Amir berkata kepadaku bahwa dia
meminta izin kepada Nabi saw saat beliau
berada di rumahnya: “Apakah saya boleh masuk?”, maka Nabi saw berkata kepada
pembantunya: “Keluarlah kepada orang ini
dan ajarkan kepadanya cara meminta izin dan katakan kepadanya hendaklah dia
mengucapkan: “Assalâmu’alaikum” dan mengatakan, "Bolehkah aku masuk?”
(HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Salam dan isti’dzan ini diucapkan maksimal
tiga kali. Jika seseorang sudah
mengucapkan salam dan isti’dzan tiga kali, namun tidak ada respons dari tuan rumah, hendaklah ia kembali pulang.
Rasulullah saw bersabda,
اَلْإِسْتِئْذَانُ
ثَلاَثَةٌ فَإِنْ أُذِنَ لَكَ وَإِلاَّ فَارِجِعْ
“Meminta idzin itu tiga (kali), jika kamu
diberi izin, dan jika tidak, maka pulanglah”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Salam isti’dzan ini harus diucapkan
juga apabila kita masuk rumah saudara, kerabat bahkan rumah kita sendiri. Dalam
hal ini Allah swt berfirman :
فَإِذَا دَخَلْتُمْ
بُيُوْتًا فَسَلِّمُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللهِ
مُبَارَكًا طَيِّبَةً
“Jika kalian masuk ke
rumah-rumah itu, ucapkanlah salam kepada saudara-saudara kalian sesuai salam
yang diajarkan Allah, yaitu salam yang membawa barakah dan kebaikan.” (Q.S. An-Nur [24]:61)
“Jika salah seorang dari kamu sudah meminta izin sebanyak tiga kali, namun
tidak diberi izin, maka kembalilah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Salam ragam keempat ini disebut
salam lil-isti’dzan.
Mengucapkan salam isti’dzan bukan hanya
pada
saat kita hendak bertamu saja, namun ketika memasuki
rumah yang kosong pun tetap dianjurkan beriistidzan. Hal ini sesuai dengan zhahir firman Allah (yang artinya), “Maka apabila
kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam
kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam
yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik”. (Q.S.
An-Nur/24:61). Dari Ibnu Umar radhiayallahu ‘anhuma, ia berkata: “Jika
seseorang memasuki rumah yang tidak berpenghuni maka hendaklah dia mengatakan: “Assalaamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibaadillaahis Shaalihiin.” Artinya, “Salam atas kami serta hamba-hamba Allah yang
shalih”. (HR. Al-Bukhari).
Salam
Lil-isti’dzan ialah salam untuk minta izin. Yaitu salam yang diucapkan ketika
kita hendak memasuki rumah orang lain sekalipun belum bertemu dengan penghuni
rumah itu, sesuai dengan firman Allah saw :
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu
memasuki rumah-rumah yang bukan rumah kamu sebelum kamu meminta idzin dan
memberi salam kepada penghuninya yang demikian itu lebih baik bagimu agar kamu
(selalu) ingat”. (Q.S.
An-Nur,24:27).
Salam
isti’dzan ini maksimal diucapkan tiga kali, sesuai dengan sabda Nabi saw :
Kata Anas : Rasulullah berpesan kepadaku
dengan lima
perkara (antara lain) : “Ucapkanlah salam atas keluargamu niscaya akan
bertambah banyak kebaikan rumahmu”.
4. Salam
lid-Du’a.
Ialah salam yang pada prinsipnya untuk mendo’akan, yaitu salam
kepada ahli kubur yang muslim, sesuai dengan sabda Nabi saw : “Dari Sulaiman
bin Buraidah dari ayahnya, ia berkata : Adalah Rasulullah mengajarkan mereka
jika ziarah ke kuburan hendaklah mengucapkan :
اَلسَّلاَمُ
عَلَيْكُمْ يَا أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ
وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ لَلاَحِقُوْنَ نَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ
الْعَافِيَةَ (رواه أحمد ومسلم
وابن ماجه)
“Assalamu’alaikum wahai penghuni kubur dari
(kaum) yang mu’min dan yang muslim dan kami insya Allah pasti akan menyusul,
kami memohon keselamatan kepada Allah untuk kami dan untuk kamu sekalian”. (HR. Ahmad,
Muslim dan Ibnu Majah).
Adapun salam
yang diucapkan sebelum khutbah atau ceramah padanya tidak terdapat keterangan
yang sahih yang dapat dijadikan hujjah. Semua hadis tentang itu lemah atau
dhaif. Misalnya hadis berikut ini :
فَمَنْ بَدَأَكُمْ بِالْكَلاَمِ قَبْلَ
السَّلاَمِ فَلاَ تُجِيْبُوْهُ
“Barangsiapa
yang memulai pembicaraan sebelum salam, janganlah dijawab”. (HR. Thabrani
dan Abu Nu’aim).
Hadis tersebut dha’if atau lemah,
karena dalam sanadnya terdapat seorang bernama Harun Muhammad Abu Thayib. Dia
dikenal sebagai seorang Pendusta (kadzdzab). Demikian An-Nawawi menjelaskan
dalam Faidul Qadir Juz 6 halaman 94.
Hadits lainnya :
اَلسَّلاَمُ قَبْلَ الْكَلاَمِ ,وَفِى
لَفْظٍ : لاَتَدْعُوْا أَحَدًا إِلَى الطَّعَامِ حَتَّى يُسَلِّمَ
“Salam
itu sebelum berbicara. Janganlah kamu mengajak seseorang makan sehinga ia salam
terlebih dahulu”.
Hadis
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Fadl bin Shobah, dari Sa’ad bin
Zakaria, dari Anbasah bin Abdurahman, dari Muhamad bin Zaadzaan, dari Muhammad
bin Munkadir, dari Jabir bin Abdillah. Dalam kitab Silsilah Al-Ahadits
ad-Dhaifah oleh Nashiruddin al-Bani pada juz VI, hal. 221-222, hadis nomor
1736, dikatakan sebagai hadis maudlu’ (palsu).
Kata beliau hadis ini dikeluarkan oleh
Tirmidzi dan Abi Ya’la dalam Musnadnya 2/115, dan Abu Nu’aim dalam Akhbar
Ashbahan 2/78 dari Anbasah bin Abdurrahman (seperti dijelaskan dalam riwayat
Turmudzi juga) dari Muhammad bin Zaadzaan, dari Muhammad bin Munkadir dari
Jabir bin Abdillah. Imam Tirmidzi sendiri berkata : Ini hadis munkar. Kata
Tirmidzi pula : Saya telah mendengar Muhamad (maksudnya Imam Bukhari) berkata :
“Anbasah bin Abdurahman adalah perawi yang dha’if (lemah) dalam hadits,
dia seorang pelupa. Dan Muhammad bin zaadzaan juga munkar.
Kata Muhammad Nashiruddin Albani : Berkata
Al-Hafid dalam Taqrib : Dia (Muhammad bin Zaadzaan) adalah matruk, yakni
ditinggalkan oleh para ahli hadis. Demikian juga Anbasah bin Abdurahman adalah
seorang yang matruk.
Dengan demikian, maka hadis ini pun tidak
dapat dijadikan hujjah karena kedha’ifannya. Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah
menerangakan, bahwa Rasulullah saw selalu memulai khutbahnya dengan “hamdalah”.
Dan tidak ada satupun riwayat bahwa Nabi saw pernah berkhutbah diawali dengan salam.
Besambung ke bag ke 3. in syaa Allah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar