Rabu, 04 Desember 2013




HAK-HAK SESAMA MUSLIM (Kajian Hadits)

HAK-HAK MUSLIM ATAS MUSLIM

حُقُوْقُ الْمُسْلِمِ   عًلَى الْمُسْلِمِ

(Bagian Kedua)

Oleh Sofyan Munawar

Fungsi dan Aplikasi



Menurut Al-Ustadz Aceng Zakariya dalam makalahnya bahwa salam memiliki beberapa fungsi, yaitu:



1.    Salam liqo (salam perjumpaan).



Salam yang diucapkan pada setiap kali perjumpaan dengan sesama muslim. Salam ini disebut juga salam littahiyyah (salam penghormatan). Hal ini sesuai dengan bunyi hadits di atas bahwa “Hak muslim atas muslim itu ada enam (antara lain): Apabila kamu bertemu dengannya, hendaklah engkau memberi salam kepadanya…” (HR. al-Bukhari dan Muslim). Juga hadits riwayat Abu Dawud berikut ini :

إِذَا لَقَيَ أَحَدُكُمْ صَاحِبَهُ فَلْيُسَلِّمْ عَلَيْهَ

“Apabila seseorang kamu bertemu dengan kawannya, maka ucapkanlah samalm kepadanya”



Dalam tata laksananya salam jenis ini diberi tuntunan sedemikian lengkap oleh Rasulullah saw. yaitu :



a) Hendaklah yang lebih muda memberi salam kepada yang lebih tua, yang berjalan kepada yang duduk, yang sedikit kepada yang banyak dan yang berkendaraan kepada yang berjalan.  Rasdulullah saw bersabda,

لِيُسَلِّمُ الصَّغِيْرُ عَلَى الْكَبِيْرِ وَالْمَارُّ عَلَى الْقَاعِدِ وَالْقَلِيْلُ عَلَى الْكَثِيْرِ, وَفِى رِوَايَةِ الْمُسْلِمِ : وَالرَّاكِبُ عَلَى الْمَاشِى

Hendaklah yang muda memberi salam kepada yang tua, yang berjalan kepada yang duduk, yang sedikit kepada yang banyak dan yang berkendaraan kepada yang berjalan”. (HR. Al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud).



b) Bila dua orang atau dua rombongan bertemu maka yang paling baik dari antara keduanya ialah yang paling dahulu mengucapkan salam, sesuai dengan sabda Nabi saw :

إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِاللهِ مَنْ بَدَأَهُمْ بِالسَّلاَمِ

“Sesungguhnya orang yang paling dekat dengan (rahmat) Allah dari antara dua orang yang bertemu ialah yang terlebih dahulu memberi salam”. (HR. Abu Dawud).



Namun, bila yang berjumpa itu dua berombongan, maka ucapan salam cukup diwaliki oleh salah seorang di antara mereka, demikian juga menjawabnya. Rasulullah saw bersabda,

يُجْزِئُ عَنِ الْجَمَاعَةِ إِذَا مَرُّوْا أَنْ يُسَلِّمَ أَحَدُهُمْ وَيُجْزِئُ عَنِ الْجَمَاعَةِ أَنْ يَرُدَّ أَحَدُهُمْ

Apabila satu rombongan berjalan, cukuplah salah seorang dari mereka memberi salam, dan cukup (pula) seseorang dari antara mereka menjawabnya”. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Baihaqi).



Salam liqo ini tetap berlaku jika yang bertemu itu antara laki-laki muslim dan wanita muslimah. Hal ini ditunjukkan oleh hadits berikut :

قَالَتْ أَسْمَاء مَرَّ عَلَيْنَا النَّيِيُّ  فِى النِّسْوَةِ فَسَلَّمَ عَلَيْنَا

Kata Asma, Nabi saw lewat kepada kami, para wanita, dan beliau memberi salam kepada kami”. (HR. Abu Dawud).



Demikian juga terhadap anak-anak. Rasululah saw telah memberi tuntunan dalam rangka pendidikan agar mengucapkan salam bila bertemu dengan anak-anak :

أَنَّ النَّبِيَّ  مَرَّ عَلَى غِلْمَانٍ يَلْعَبُوْنَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ

“Bahwasanya Rasululah lewat di kerumunan anak-anak yang sedang bermain, lalu beliau mengcapkan salam kepada mereka”. (HR. Al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud).

Salam liqo atau tahiyyah ini hanya berlaku di antara sesama kaum muslimin. Nabi saw melarang seorang muslim mengucapkan salam kepada non muslim. Rasulullah saw bersabada.


لاَتَبْدَؤُؤْا الْيَهُوْدَ وَلاَ النَّصَارَى بِالسَّلاَمِ….

“Janganlah kamu mulai salam kepada Yahudi dan Nasrani….”. (HR. Muslim).



Bagaimana jika orang non muslim mengucapkan salam kepada kita? Rasulullah saw memberi tuntunan :

إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ فَقُوْلُوْا : وَعَلْيْكُمْ!

“Apabila Ahli Kitab mengucapkan salam kepada kamu, maka jawablah   “wa ‘alaikum”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Rasulullullah saw tidak pernah mengucapkan salam  terhadap orang non Muslim (khususnya Ahli Kitab). Adapun salam yang beliau tulis dalam suratnya terhadap Kaisar Romawi, Heraclius yang Nasrani, bukan salam dalam arti memberi atau mengucapkan salam, tetapi  mengajak agar Heraclius masuk Islam yang dengannya akan memperoleh keselamatan. Dalam suratnya kepada Heraclius itu beliau menulis :

اَلسَّلاَمُ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ الْهُدَى
           
“Keselamatan atas orang-orang yang mengukuti petunjuk (Islam)”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)



c) Orang yang mendapat ucapan salam dianjurkan menjawab/membalas dengan yang  lebih baik dari si pemberi salam. Maksudnya, bila seseorang menyapa dengan “Assalâmu’alaikum.  Maka jawaban yang bebih baik adalah, “Wa ‘alaikum salâm wa rohmatulôh“. Bila sapaannya “Asalâmu’alaikum wa rohmatullôh”. Jawaban yang lebih utama adalah, “Wa ‘alaikum salâm wa rohmatullôh wa barokâtuh”. Namun, bila ucapan salamnya sempurna yaitu “Assâlamu’alaikum wa rohmatullôhi wa barokâtuh”. Maka jawablah dengan yang sepadan, yaitu : “wa ‘alaikum salâm wa rohmatullôhi wa barokâuh”. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah dalam surat An-Nisa (4) ayat 86 (yang artinya) : Wahai kaum mukmin, bila kalian diberi ucapan salam oleh sesama mukmin, hendaklah kalian membalasnya dengan ucapan salam yang lebih baik atau ucapan salam yang sama. Allah pasti membalas semua perbuatan kalian.



d) Dalam konteks ini maka pahala yang didapat oleh orang yang mengucapkan salam sesuai dengan ucapan salamnya itu. Dalam sebuah riwayat diterangkan, “Seorang laki-laki datang kepada Nabi saw, lalu ia berkata : “Assâamu ‘alaikum”. Maka Nabi saw menjawab salamnya, dan bersabda : “Sepuluh (pahalanya)”, lalu orang itu duduk. Kemudian datang lagi yang lainnya, ia berkata : “Assalâmu’alaikum wa rohmatullôh”. Maka Nabi saw menjawab salamnya, dan bersabda : “Dua pululuh (pahalanya)”, lalu orang itu duduk. Dan datang pula yang lainnya, ia berkata : Assalâmu’alaikum wa rohmatulLôhi wa barokâtuh Maka Rasulullah saw menjawab salamnya, dan bersabda : “Tiga puluh (pahalanya)”. (HR. Al-Bukhari, an-Nasai dan at-Tirmidzi).



e) Bila dalam suatu majlis terdapat orang-orang non muslim, tetaplah memberi salam kepada para muslimin, sesuai dengan riwayat berikut ini :

أَنَّ النَّبِيَّ  مَرَّ عَلَى مَجْلِسٍ فِيْهِ أَخْلاَطٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُشْرِكِيْنَ عَبَدَةِ اْلأَوْثَانِ وَالْيَهُوْدِ فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ

“Bahwa Rasulullah lewat dikerumunan orang muslim, musyrikin penyembah berhala dan orang-orang Yahudi, lalu Rasulullah salam kepada mereka (orang muslim)”. (HR. al-Bukhari).





f) Bagaimana bila kita menerima titipan salam? Jawabannya sebagaimana diterangkan dalam riwayat berikut ini. Rasulullah saw berkata kepada ‘Aisyah :


هَذَا جِبْرِيْلُ يَقْرَأُ عَلَيْكِ السَّلاَمَ, فَقَالَتْ : وَعَلَيْهِ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ.

“(Hai ‘Aisyah)! Sesunguhnya Jibril mengucapkan salam kepadamu. ‘Aisyah menjawab : ‘Wa ‘alaihis-salam wa rohmatullah wa barakatuh”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).



Dan dalam riwayat Abu Dawud diterangkan bahwa seseorang dari kabilah Bani Tamim datang kepada Rasulullah saw, ia berkata, “Ya Rasulullah, bapakmu menyampaikan salam untukmu.” Nabi  saw. pun menjawab : “’alaika wa ‘ala abika as-salam”(untukmu dan untuk bapakmu keselamatan).  (HR. Abu Dawud).



2.    Salam lil-firaq (salam distiap akhir perjumpaan)



Salam tidak hanya diucapkan saat perjumpaan saja tapi juga diucapkan saat berpisah. Salam corak kedua ini disebut salam lilfiraq. Nabi saw bersabda,

إِذَا قَعَدَ أَحَدُكُمْ فَلْيُسَلِّمْ وَإِذَا قَامَ فَلْيُسَلِّمْ وَلَيْسَتِ اْلأُوْلَى أَحَقُّ مِنَ اْلآخِرَةِ

Apabila seseorang kamu datang ke suatu majlis, ucapkanlah salam; dan apabila hendak menginggalkan/berpisah, ucapkan (pula) salam, dan salam yang pertama tidak lebih utama daripada salam yang terakhir”. (HR. Ahmad, Al-Bukhari, Abu Dawud dan At-Tirmidzi)).



Adapun hukum memulai salam adalah sunnah, sedang menjawabnya adalah wajib.



3.    Salam litta’abbud



Salam litta’abbud maksudnya salam untuk ibadah, yaitu salam yang diucapkan untuk mengakhiri shalat. Orang yang melaksanakan shalat, baik yang wajib maupun sunnah, munfarid maupun berjamaah, imam ataupun makmum wajib mengakhiri shalatnya dengan salam. Kedudukan salam di akhir shalat sama seperti takbiratul ihram di awal shalat yaitu bersifat ta’abbudi yakni ibadah yang aturannya telah ditetapkan secara baku, yang dalam menjalankannya seorang  muslim harus tunduk secara utuh tanpa melihat pada sebab atau maksudnya.  Ucapan salam di akhir shalat merupakan salah satu rukun shalat dan penutup shalat, maka mengucapkannya adalah wajib.



4.    Salam Lil-isti’dzan



Salam model keempat ini diucapkan ketika kita hendak bertamu ke rumah orang lain. Inilah bimbingan yang diberikan Al-Qur’an kepada kaum muslimin. Allah Ta’ala berfirman,

يَااَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا لاَتَدْخُلُوْا بُيُوْتًا غَيْرَ بُيُوْتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوْا وَتُسَلِّمُوْا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ


“Wahai orang-orang  beriman,  janganlah kamu memasuki rumah-rumah  orang mukmin sebelum meminta idzin dan mengucapkan salam kepada penghuninya. Minta izin dan mengucapkan salam lebih dahulu itu lebih baik bagi kalian daripada langsung masuk, agar kalian tahu bagaimana menghormati kemuliaan orang lain.” (Q.S. An-Nur [24]:27).



Berdasarkan ayat di atas bila kita memasuki rumah orang lain hendaklah meminta izin terlebih dahulu kemudian memberi salam. Namun dalam praktiknya tidak demikian, tetapi kebalikannya yaitu memberi salam terlebih dahulu baru meminta izin setelah dijawab salamnya. Inilah adab yang dicontohkan oleh Rasulullah saw sebagaimana tergambar dalam riwayat berikut.



Kata Rabi’, seorang lelaki dari Bani Amir berkata kepadaku bahwa dia meminta izin kepada Nabi  saw saat beliau berada di rumahnya: “Apakah saya boleh masuk?”, maka Nabi saw berkata kepada pembantunya:  “Keluarlah kepada orang ini dan ajarkan kepadanya cara meminta izin dan katakan kepadanya hendaklah dia mengucapkan: “Assalâmu’alaikum” dan mengatakan, "Bolehkah aku masuk?” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).



Salam dan isti’dzan ini diucapkan maksimal tiga kali.  Jika seseorang sudah mengucapkan salam dan isti’dzan tiga kali, namun tidak ada respons dari tuan rumah, hendaklah ia kembali pulang. Rasulullah saw  bersabda,


اَلْإِسْتِئْذَانُ ثَلاَثَةٌ فَإِنْ أُذِنَ لَكَ وَإِلاَّ فَارِجِعْ

“Meminta idzin itu tiga (kali), jika kamu diberi izin, dan jika tidak, maka pulanglah”. (HR. Bukhari dan Muslim).



Salam isti’dzan ini harus diucapkan juga apabila kita masuk rumah saudara, kerabat bahkan rumah kita sendiri. Dalam hal ini Allah swt berfirman :

فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوْتًا فَسَلِّمُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللهِ مُبَارَكًا طَيِّبَةً

Jika kalian masuk ke rumah-rumah itu, ucapkanlah salam kepada saudara-saudara kalian sesuai salam yang diajarkan Allah, yaitu salam yang membawa barakah dan kebaikan.” (Q.S. An-Nur [24]:61)
 
“Jika salah seorang dari kamu sudah meminta izin sebanyak tiga kali, namun tidak diberi izin, maka kembalilah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Salam ragam keempat ini disebut salam lil-isti’dzan.

Mengucapkan salam isti’dzan bukan hanya pada saat kita hendak bertamu saja, namun ketika memasuki rumah yang kosong pun tetap dianjurkan beriistidzan. Hal ini sesuai dengan zhahir firman Allah (yang artinya), “Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik”. (Q.S. An-Nur/24:61). Dari Ibnu Umar radhiayallahu ‘anhuma, ia berkata: “Jika seseorang memasuki rumah yang tidak berpenghuni maka hendaklah dia mengatakan: “Assalaamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibaadillaahis Shaalihiin.” Artinya, “Salam atas kami serta hamba-hamba Allah yang shalih”. (HR. Al-Bukhari).

Salam Lil-isti’dzan ialah salam untuk minta izin. Yaitu salam yang diucapkan ketika kita hendak memasuki rumah orang lain sekalipun belum bertemu dengan penghuni rumah itu, sesuai dengan firman Allah saw :

 “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memasuki rumah-rumah yang bukan rumah kamu sebelum kamu meminta idzin dan memberi salam kepada penghuninya yang demikian itu lebih baik bagimu agar kamu (selalu) ingat”. (Q.S. An-Nur,24:27).

Salam isti’dzan ini maksimal diucapkan tiga kali, sesuai dengan sabda Nabi saw :
Kata Anas : Rasulullah berpesan kepadaku dengan lima perkara (antara lain) : “Ucapkanlah salam atas keluargamu niscaya akan bertambah banyak kebaikan rumahmu”.
 
4.  Salam lid-Du’a.

Ialah salam yang pada prinsipnya untuk mendo’akan, yaitu salam kepada ahli kubur yang muslim, sesuai dengan sabda Nabi saw : “Dari Sulaiman bin Buraidah dari ayahnya, ia berkata : Adalah Rasulullah mengajarkan mereka jika ziarah ke kuburan hendaklah mengucapkan :


اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ يَا أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ لَلاَحِقُوْنَ نَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ (رواه أحمد ومسلم وابن ماجه)

 “Assalamu’alaikum wahai penghuni kubur dari (kaum) yang mu’min dan yang muslim dan kami insya Allah pasti akan menyusul, kami memohon keselamatan kepada Allah untuk kami dan untuk kamu sekalian”. (HR. Ahmad, Muslim dan Ibnu Majah).



 Adapun salam yang diucapkan sebelum khutbah atau ceramah padanya tidak terdapat keterangan yang sahih yang dapat dijadikan hujjah. Semua hadis tentang itu lemah atau dhaif. Misalnya hadis berikut ini :


 فَمَنْ بَدَأَكُمْ بِالْكَلاَمِ قَبْلَ السَّلاَمِ فَلاَ تُجِيْبُوْهُ

“Barangsiapa yang memulai pembicaraan sebelum salam, janganlah dijawab”. (HR. Thabrani dan Abu Nu’aim).

Hadis tersebut dha’if atau lemah, karena dalam sanadnya terdapat seorang bernama Harun Muhammad Abu Thayib. Dia dikenal sebagai seorang Pendusta (kadzdzab). Demikian An-Nawawi menjelaskan dalam Faidul Qadir Juz 6 halaman 94.

Hadits lainnya :
 اَلسَّلاَمُ قَبْلَ الْكَلاَمِ ,وَفِى لَفْظٍ : لاَتَدْعُوْا أَحَدًا إِلَى الطَّعَامِ حَتَّى يُسَلِّمَ

“Salam itu sebelum berbicara. Janganlah kamu mengajak seseorang makan sehinga ia salam terlebih dahulu”.

Hadis Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Fadl bin Shobah, dari Sa’ad bin Zakaria, dari Anbasah bin Abdurahman, dari Muhamad bin Zaadzaan, dari Muhammad bin Munkadir, dari Jabir bin Abdillah. Dalam kitab Silsilah Al-Ahadits ad-Dhaifah oleh Nashiruddin al-Bani pada juz VI, hal. 221-222, hadis nomor 1736, dikatakan sebagai hadis maudlu’ (palsu).

Kata beliau hadis ini dikeluarkan oleh Tirmidzi dan Abi Ya’la dalam Musnadnya 2/115, dan Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbahan 2/78 dari Anbasah bin Abdurrahman (seperti dijelaskan dalam riwayat Turmudzi juga) dari Muhammad bin Zaadzaan, dari Muhammad bin Munkadir dari Jabir bin Abdillah. Imam Tirmidzi sendiri berkata : Ini hadis munkar. Kata Tirmidzi pula : Saya telah mendengar Muhamad (maksudnya Imam Bukhari) berkata : “Anbasah bin Abdurahman adalah perawi yang dha’if (lemah) dalam hadits, dia seorang pelupa. Dan Muhammad bin zaadzaan juga munkar.

Kata Muhammad Nashiruddin Albani : Berkata Al-Hafid dalam Taqrib : Dia (Muhammad bin Zaadzaan) adalah matruk, yakni ditinggalkan oleh para ahli hadis. Demikian juga Anbasah bin Abdurahman adalah seorang yang matruk.

Dengan demikian, maka hadis ini pun tidak dapat dijadikan hujjah karena kedha’ifannya. Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah menerangakan, bahwa Rasulullah saw selalu memulai khutbahnya dengan “hamdalah”. Dan tidak ada satupun riwayat bahwa Nabi saw pernah berkhutbah diawali dengan salam.

Besambung ke bag ke 3. in syaa Allah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar