Selasa, 03 Desember 2013

KEAGUNGAN DOA “SAPU JAGAT”





KEAGUNGAN DOA “SAPU JAGAT”


Oleh Sofyan Munawar

Di antara doa harian yang senantiasa menghiasi lisan seorang mukmin adalah “Robbanâ âtinâ fiddunyâ hasanah wa fil âkhirati hasanah wa qinâ ‘adzâbannâr” artinya “Wahai Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan selamatkanlah kami dari siksa neraka.” Di dalam doa tersebut ada tiga permohonan yang diajukan hamba kepada Allah, yaitu  sukses di dunia, beruntung di akhirat dan selamat dari siksa api neraka. Doanya pendek tapi isinya padat, mencakup segala jenis kebaikan di dunia dan di akhirat. Mungkin itulah sebabnya kaum muslimin Indonesia menyebutnya dengan “doa sapu jagat”. Menurut penuturan sahabat Anas ibn Malik rodhiyallohu ‘anhu, doa tersebut termasuk di antara doa yang paling sering dibaca oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam. Hal itu tidaklah mengherankan karena memang Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam sangat menyukai doa-doa yang ringkas tetapi mengandung makna  yang luas (al-jawami’ min-addu’a).

Makna Hasanah.

Kata hasanatan dalam doa tersebut atas muncul dalam bentuk nakirah (indefinitif). Dalam bahasa Arab nakirah adalah kata yang menunjukkan kepada sesuatu yang tidak tertentu karena maknanya bersifat umum. Secara harfiyah hasanah artinya sesuatu yang baik, bagus, dan elok. Lawan dari “qobih” yaitu sesutu yang buruk atau jelek. Dengan demikian, makna hasanah dalam doa tersebut mencakup segala bentuk kebaikan yang dipandang baik. Namun demikian, manusia tidak dapat mengetahui secara pasti kebaikan yang baik untuk dirinya. Boleh jadi manusia menilai sesuatu itu baik, tapi apakah itu berakibat baik atau buruk tidak dapat dipastikan. Dalam hal ini Allah Swt berfirman,  “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah [2]:216). Jadi, hasanah yang dimaksud dalam doa tersebut adalah kebaikan yang berakibat baik dan itu hanya diketahui oleh Allah.

Makna Hasanah di Dunia

Umumnya orang beranggapan bahwa yang dimaksud hasanah di dunia adalah kesuksesan dalam bidang kehidupan dunia seperti melimpahnya materi, jabatan strategis, popularitas, dan lain sebagainya. Menyempitnya pemahaman makna hasanah di dunia ini boleh jadi tereduksi oleh  pandangan hidup matrialistik yang menjadikan materi dan kesenangan duniawi sebagai tujuan utama. Untuk memperoleh pengertian hasanah di dunia secara tepat perlu mencari referensi yang valid. Referensi yang kredibel tersebut terdapat pada penjelasan salah seorang tokoh sahabat yang bernama Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma, satu-satunya sahabat yang mendapatkan doa khusus dari Rasulullah saw dengan doa:  اَللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ"  = Ya Allah luaskanlah pengetahuannya dalam agama dan ajarilah ia tafsir Al-Qur’ân.

Dalam ajaran Islam, doa yang dipanjatkan oleh Rasulullah saw adalah doa yang mustajab (terkabul). Maka berkat doa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam dan ketekunan serta kecerdasannya diusia sembilan tahun, Ibnu Abbas sudah hafal al-Qur’ân dan diusianya yang masih belia pun sudah menjadi ulama yang mumpuni yang berpengetahuan luas, sehingga berbagai macam pujian pun diarahkan kepadanya. Pengakuan atas keilmuannya tersebut Ibnu Abbas radhiayyallahu ‘anhuma dijuluki sebagai “Turjumanul Qur’ân (juru tafsir al-Qur’ân), Habrul Ummah ( tokoh ulama umat) dan Ra’isul Mufasirîn (pemimpin para mufassir) dan Bahrul ummah (lautan/gudang ilmu umat). Dengan kedalaman ilmunya Ibnu Abbas selalu menjadi rujukan tempat bertanya. Salah satunya adalah penjelasan Ibnu Abbas atas pernyataan para tabi’in (generasi setelah sahabat) yang menanyakan tentang makna hasanah di dunia. Menurut Ibnu Abbas hasanah di dunia mencakup hal-hal sebagai berikut :

Pertama, Qalbun Syakirun wa Shobiron. Artinya hati yang selalu bersyukur dan bersabar. Hati yang syukur adalah hati yang meyakini bahwa nikmat dan karunia adalah pemberian Allah, dan hati yang sabar adalah hati yang mengimani akan taqdir dan ketentuan-Nya. Inilah sikap mental orang yang memperoleh hasanah di dunia.

Sudah menjadi Sunnatullah bahwa kehidupan ini diciptakan penuh dinamika, nikmat dan cobaan datang silih berganti, di mana manusia tidak dapat terlepas dari keduanya. Untuk menghadapi dua keniscayaan tersebut adalah dengan syukur dan sabar. Syukur harus muncul saat kebaikan datang dan sabar harus tampil saat kesulitan menimpa. Ketika syukur telah mengisi hati seseorang maka ketenangan akan datang menghampirinya, sehingga ia bisa menikmati indahnya hidup ini.

Syukur yang sudah mewarnai hati dapat memelihara nikmat yang sudah ada dan mengundang datangnya nikmat-nikmat yang baru lebih banyak lagi, hingga nikmat-nikmat baru pun datang berduyun-duyun. Sungguh benar firman Allah berikut ini : “Wahai manusia,  ingatlah ketika Tuhan kalian berfirman, ‘Jika kalian bersyukur, pasti Aku akan menambah nikmat kepada kalian. Akan tetapi jika kalian mengingkari nikmat-Ku, sungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS. Ibrahim [14]:7)

Adapun hati yang sabar adalah hati yang menerima dan ridha kepada qadha Allah. Kesabaran akan mengusir keluh-kesah dan keputus asaan.

Maka bila syukur dan sabar telah mengisi hati, insya Allah hidup penuh dengan kedamaian serta terbebas dari stress dan keluh-kesah. Rasulullah saw bersabda, “Menakjubkan urusan orang beriman, segala urusannya semuanya baik dan tidak ada yang demikian kecuali pada orang beriman. Apabila menerima kelapangan ia bersyukur, dan apabila ditimpa kemalangan ia bersabar, sehingga baik baginya.” (HR. Muslim)

Kedua, Al-Azwaju as-Shalihah. Artinya pasangan hidup yang solih. Memiliki pasangan hidup yang solih merupakan pangkal terciptanya suasana rumah tangga bagai surga dunia yang indah penuh bahagia, dan sebaliknya keadaan rumah tangga akan seperti neraka yang penuh derita dan nestapa manakala memiliki pasangan hidup yang tidak solih. Dari Abu Abdullah bin ‘Amr ra. bahwa Rasulullah saw bersabda,  “Dunia ini seluruhnya adalah perhiasan/kesenangan dan sebaik-baik perhiasan/kesenangan dunia adalah wanita solehah.” (HR. Muslim, an-Nasai, dan Ibnu Majah dari Abdullah bin ‘Amr r.a.)

Kiat untuk meraih pasangan yang solih/ah dan sugra dunia dalam kehidupan rumah tangga, antara lain tergambar dalam arahan Rasulullah saw dalam cara memilih jodoh yaitu dengan menitik beratkan pada faktor agamanya. Beliau saw bersabda, “Wanita dinikahi karena empat alasan. Hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Pilihlah karena agamanya, niscaya berbahagialah engkau.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Ketiga, Al-Aulad al-Abrar. Artinya  memiliki anak-anak yang baik. Ciri ketiga ini nampaknya merupakan konsekuensi logis dari ciri yang kedua. Pasangan suami-istri yang solih niscaya berusaha semaksimal mungkin mensolihkan anak-anaknya.

Dalam menciptakan anak-anak yang solih diperlukan cara yang integral dalam pola pendidikannya. Maksudnya, pendidikan dan pelajaran tidak terfokus hanya pada pencerahan intelektualnya semata dengan mengabaikan aspek spiritual dan emosionalnya. Pencerahan intelektual, spiritual dan emosional hendaknya menjadi kesatuan yang terintegrasi demi melahirkan generasi yang cerdas, saleh dan berkahlaq mulia. Di samping ketiga hal itu, rizki untuk membesarkan mereka pun harus halalan thayyiba dan proteksi lingkungan pun tidak boleh dianggap remeh. Kecuali hal-hal yang bersifat lahiriyah tersebut, maka usaha yang bersifat transedental pun harus ditempuh, yaitu jangan lupa panjatkan do’a kepada Allah untuk kebaikan anak-anak, karena doa merupakan suplemen gaib yang sangat ampuh. Lihatlah bagaimana Nabiyullah Ibrahim ‘alaihissalam memohon kepada Tuhannya, “Wahai Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.” (QS. Ash-Shaffat:100). Lihat pula Ali Imran :5-6 dan Al-Furqan :74.

Keempat, Al-Biah as-Sholihah. Yakni lingkungan dan teman yang baik. Lingkungan dan teman yang baik dapat melindungi iman dan akhlaq. Orang yang mendapat hasanah di dunia sangat pandai memilih lingkungan dan teman sepergaulan, walau ia luas pergaulannya tapi selektif dalam mencari kawan sejawat. Kriteria kawan yang baik adalah yang mampu memberikan kontribusi positif pada temannya, yakni saling nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. Rasulullah saw memberikan bimbingan dalam hal memilih kawan seiring, Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Lingkungan dan teman yang baik dapat menjadi wahana berseminya iman, Islam, dan ihsan. Demikian pula lingkungan dan teman yang buruk dapat membunuh bibit-bibit iman yang sudah disemai Allah di dalam diri setiap insan, sebagaimana digambarkan Rasulullah saw dalam sabdanya, Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi seorang Yahudi, seorang Nasrani maupun seorang Majusi. (HR. al-Bukhari).

Kelima, Al-Maal al-Halal . Yakni harta yang halal. Orang yang meraih hasanah di dunia dapat dilihat pula dari ciri yang kelima ini, yaitu lurus dan benar dalam mencari rizki, istiqamah dalam  mencari harta yang halal. Ia tidak larut dalam hiruk pikuk pergumulan kotor perebutan rizki. Baginya harta hanyalah alat hidup dan sarana untuk ibadah kepada Allah, untuk itu kehalalan harta/rizki  serta usaha mutlak tidak bisa dinegosiasi. Mencari yang halal, memakan yang halal, memakai yang halal, membelanjakan yang halal, berinfestasi yang halal dan mewariskan yang halal menjadi paradigma dalam hidup seseorang yang meraih hasanah di dunia.

Harta yang halal mengandung barokah (kebaikan yang melimpah) disamping memberi ketenangan batin dan keselamatan di akhirat. Sebaliknya harta yang haram mendatangkan banyak masalah, selain menghilangkan nilai berkahnya juga berdampak pada mubadzirnya aktivitas amal solih.  Orang yang mengabaikan kehalalan harta dan usaha, maka harta haram yang dimiliki dan dimanfaatkannya itu akan berakibat kerugian pada dirinya. Bila harta yang haram itu digunakan buat menafkahi keluarga, lenyaplah keberkahannya; bila dikeluarkan untuk sedekah, tidak diterima; bila dimakan, tidak akan pernah terkabul do’a; jika dipakai untuk ongkos dan bekal naik haji, tertolaklah hajinya; jika untuk bersilaturahim, sia-sia pula silaturrahimnya, dan puncak keburukan dari harta yang haram adalah kesengsaraan di hari kiamat. Nabi saw. bersabda, “Siapa yang dagingnya tumbuh dari (harta) yang haram maka neraka lebih pantas baginya.” (HR. at-Tirmidzi).

Keenam, Tafaqquh fid Dien.  Artinya, orang yang memperoleh hasanah di dunia memiliki semangat untuk mempelajari Islam. Ia selalu berusaha memperluas dan memperdalam ilmu pengetahuan (pengertian, pemahaman, penghayatan dan penguasaan) tentang Islam dalam segala seginya, sesuai dengan kemampuannya, tiap kesempatan, terus menerus, sampai mati. Maka, ilmunya yang luas memperkuat imannya, imannya memantapkan komitmennya kepada Islam, dan kominmennya kokoh mengangkat derajatnya di sisi Allah. ”Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al-Quran itulah yang hak dari Tuhan-mu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan sesungguhnya Allah adalah pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.”(Al-Hajj :54).

Ketujuh, Al-Umru al-Barokah.  Ciri terakhir hasanah di dunia adalah umur yang berkah. Yang dimaksud dengan umur yang berkah adalah umur yang makmur dengan amal solih. Semakin tambah usia semakin bertambah catatan kebaikan dan amal saleh serta semakin mampu menutup segala pintu yang menuju dosa dan maksiat. Orang seperti ini disebut oleh Rasulullah sebagai sebaik-baik manusia, sebagaimana sabdanya, “Sebaik-baik manusia ialah orang yang panjang umurnya dan bagus amalnya, dan seburuk-buruk manusia ialah orang yang panjang umurnya dan buruk amalnya.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi dan al-Hakim). Dalam riwayat lain dikatakan, “Barangsiapa yang harinya lebih baik dari hari kemarin, sungguh dia telah beruntung….”

Membangun konsistensi dalam mengisi umur dengan amal solih hingga akhir hayat bukanlah perkara mudah, kecuali orang-orang yang diberi taufiq dan inayah oleh Alllah swt. Rasulullah saw bersabda, “Apabila Allah menghendaki kebaikan atas hamba-Nya, maka Dia memperkerjakannya?” Para sahabat bertanya, ‘Bagaimana Allah memperkerjakannya?’ Beliau menjawab, ”Allah memberinya taufiq untuk beramal shalih sebelum kematiannya.” (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi dari Anas bin Malik)

Selanjutnya, bagian kedua dari “doa sapu jagat” tersebut ialah “wa fil âkhirati hasanah”, yang artinya “dan juga kebahagiaan akhirat”. Yang dimaksud dengan hasanah di akhirat adalah : terbebas dari rasa takut, di Padang Mahsyar mendapat naungan Allah, meraih syafaat dari Rasulullah saw, mendapat hisab yang ringan, selamat dalam menyeberangi jembatan antara dua tepi neraka jahannam, selamat dari kebangkrutan pahala, mendapat ampunan dan ridha Allah, menikmati surga yang abadi dan puncaknya dapat bertemu dengan Allah swt.

Akhirnya, doa “sapu jagat” itu dipungkas dengan “wa qinâ ‘adzbânnâr”  yang artinya “dan hindarkanlah kami adzab api neraka”. Kenapa doa ini diakhiri dengan permintaan terhindarnya dari api neraka?” Karena kebaikan di akhirat – seperti masuk surga – bisa jadi diperoleh setelah mengalami siksa terlebih dahulu. Maka penggalan ketiga dalam doa ini menjadi penting. Semoga!!! Walahu A’lam  
-----oOo-----


Tidak ada komentar:

Posting Komentar