KEAGUNGAN DOA “SAPU JAGAT”
Oleh Sofyan Munawar
Di
antara doa harian yang senantiasa menghiasi lisan seorang mukmin adalah “Robbanâ
âtinâ fiddunyâ hasanah wa fil âkhirati hasanah wa qinâ ‘adzâbannâr” artinya
“Wahai Rabb kami, berilah kami kebaikan di
dunia dan kebaikan di akhirat dan selamatkanlah kami dari siksa neraka.” Di
dalam doa tersebut ada tiga permohonan yang diajukan hamba kepada Allah, yaitu sukses di dunia, beruntung di akhirat dan selamat
dari siksa api neraka. Doanya pendek tapi isinya padat, mencakup segala jenis
kebaikan di dunia dan di akhirat. Mungkin itulah sebabnya kaum muslimin
Indonesia menyebutnya dengan “doa sapu jagat”. Menurut
penuturan sahabat Anas ibn Malik rodhiyallohu ‘anhu, doa tersebut termasuk
di antara doa yang paling sering dibaca oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam. Hal
itu tidaklah mengherankan karena memang Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam
sangat menyukai doa-doa yang ringkas tetapi mengandung makna yang
luas (al-jawami’
min-addu’a).
Makna Hasanah.
Kata hasanatan dalam
doa tersebut atas
muncul dalam bentuk nakirah (indefinitif). Dalam bahasa Arab nakirah adalah
kata yang menunjukkan kepada
sesuatu yang tidak tertentu karena maknanya bersifat umum. Secara
harfiyah hasanah artinya sesuatu
yang baik, bagus, dan elok. Lawan dari “qobih” yaitu sesutu yang buruk
atau jelek. Dengan demikian, makna hasanah dalam doa tersebut mencakup segala
bentuk kebaikan yang dipandang baik. Namun demikian, manusia tidak dapat mengetahui
secara pasti kebaikan yang baik untuk dirinya. Boleh jadi manusia menilai
sesuatu itu baik, tapi apakah itu berakibat baik atau buruk tidak dapat dipastikan. Dalam hal ini Allah Swt berfirman, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh
jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah [2]:216). Jadi, hasanah yang dimaksud dalam doa tersebut
adalah kebaikan yang berakibat baik dan itu hanya diketahui oleh Allah.
Makna Hasanah di
Dunia
Umumnya orang beranggapan bahwa yang dimaksud
hasanah di dunia adalah kesuksesan
dalam bidang kehidupan dunia seperti melimpahnya materi, jabatan strategis,
popularitas, dan lain sebagainya. Menyempitnya pemahaman makna hasanah di dunia
ini boleh jadi tereduksi oleh pandangan
hidup matrialistik yang menjadikan materi dan kesenangan duniawi sebagai tujuan
utama. Untuk memperoleh pengertian hasanah di dunia secara tepat
perlu mencari referensi yang valid.
Referensi yang kredibel tersebut terdapat pada penjelasan salah seorang tokoh sahabat
yang bernama Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma, satu-satunya sahabat yang mendapatkan
doa khusus dari Rasulullah saw dengan doa: اَللَّهُمَّ
فَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ" = Ya Allah luaskanlah
pengetahuannya dalam agama dan ajarilah ia tafsir Al-Qur’ân.”
Dalam
ajaran
Islam, doa yang dipanjatkan oleh Rasulullah saw adalah doa yang mustajab (terkabul). Maka berkat
doa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam dan ketekunan serta kecerdasannya diusia sembilan
tahun, Ibnu Abbas sudah hafal al-Qur’ân dan diusianya yang masih belia pun sudah menjadi
ulama yang mumpuni yang berpengetahuan luas, sehingga berbagai macam pujian pun diarahkan kepadanya. Pengakuan atas
keilmuannya tersebut Ibnu Abbas radhiayyallahu
‘anhuma dijuluki sebagai “Turjumanul Qur’ân (juru tafsir al-Qur’ân), Habrul Ummah ( tokoh ulama umat)
dan Ra’isul Mufasirîn (pemimpin para mufassir) dan Bahrul ummah (lautan/gudang ilmu
umat). Dengan kedalaman ilmunya Ibnu Abbas selalu menjadi rujukan tempat
bertanya. Salah satunya adalah penjelasan Ibnu Abbas atas pernyataan para
tabi’in (generasi setelah sahabat) yang menanyakan tentang makna hasanah di dunia. Menurut
Ibnu Abbas hasanah di dunia mencakup hal-hal sebagai berikut :
Pertama, Qalbun Syakirun wa Shobiron. Artinya hati yang selalu bersyukur dan bersabar. Hati yang syukur adalah hati yang meyakini
bahwa nikmat dan karunia adalah pemberian Allah, dan hati yang sabar adalah hati
yang mengimani akan taqdir dan
ketentuan-Nya. Inilah sikap mental orang yang memperoleh hasanah di dunia.
Sudah menjadi
Sunnatullah bahwa kehidupan ini diciptakan penuh dinamika, nikmat dan
cobaan datang silih berganti, di mana manusia tidak dapat terlepas dari
keduanya. Untuk menghadapi dua
keniscayaan tersebut adalah dengan syukur dan sabar. Syukur harus
muncul saat kebaikan datang dan sabar harus tampil saat kesulitan menimpa. Ketika syukur telah mengisi hati seseorang maka ketenangan akan datang menghampirinya, sehingga ia bisa
menikmati indahnya hidup ini.
Syukur yang
sudah mewarnai hati dapat memelihara nikmat yang sudah ada dan mengundang datangnya nikmat-nikmat
yang baru lebih banyak lagi, hingga nikmat-nikmat baru pun datang berduyun-duyun. Sungguh benar firman Allah berikut ini : “Wahai
manusia, ingatlah ketika Tuhan kalian
berfirman, ‘Jika kalian bersyukur, pasti Aku akan menambah nikmat kepada kalian. Akan tetapi jika kalian mengingkari nikmat-Ku, sungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS. Ibrahim
[14]:7)
Adapun hati yang sabar adalah hati yang menerima
dan ridha kepada qadha Allah. Kesabaran akan mengusir keluh-kesah dan keputus
asaan.
Maka bila syukur dan sabar telah mengisi hati, insya Allah hidup penuh
dengan kedamaian serta terbebas dari stress dan keluh-kesah. Rasulullah saw
bersabda, “Menakjubkan urusan orang beriman, segala urusannya
semuanya baik dan tidak ada yang demikian kecuali pada orang beriman. Apabila
menerima kelapangan ia bersyukur, dan apabila ditimpa kemalangan ia bersabar,
sehingga baik baginya.” (HR. Muslim)
Kedua, Al-Azwaju as-Shalihah. Artinya pasangan hidup yang solih. Memiliki pasangan hidup yang solih merupakan pangkal terciptanya suasana rumah tangga
bagai surga dunia yang indah penuh bahagia, dan sebaliknya
keadaan rumah tangga akan
seperti neraka yang penuh derita dan nestapa manakala memiliki pasangan hidup yang tidak solih. Dari Abu
Abdullah bin ‘Amr ra. bahwa Rasulullah saw bersabda, “Dunia ini seluruhnya adalah
perhiasan/kesenangan dan sebaik-baik perhiasan/kesenangan dunia adalah wanita
solehah.” (HR. Muslim, an-Nasai, dan Ibnu Majah dari Abdullah bin ‘Amr r.a.)
Kiat untuk meraih pasangan
yang solih/ah dan sugra dunia dalam kehidupan rumah tangga, antara lain
tergambar dalam arahan Rasulullah saw dalam cara memilih jodoh yaitu dengan
menitik beratkan pada faktor agamanya. Beliau saw bersabda, “Wanita dinikahi karena empat alasan. Hartanya,
keturunannya, kecantikannya, dan
agamanya. Pilihlah karena agamanya, niscaya berbahagialah engkau.” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim)
Ketiga, Al-Aulad al-Abrar. Artinya memiliki anak-anak yang baik. Ciri ketiga ini nampaknya
merupakan konsekuensi logis dari ciri yang kedua. Pasangan suami-istri yang solih
niscaya berusaha semaksimal mungkin mensolihkan anak-anaknya.
Dalam menciptakan anak-anak yang solih diperlukan cara yang
integral dalam pola pendidikannya. Maksudnya, pendidikan dan pelajaran tidak terfokus hanya pada pencerahan intelektualnya
semata dengan mengabaikan aspek spiritual dan emosionalnya. Pencerahan
intelektual, spiritual dan emosional hendaknya menjadi kesatuan yang
terintegrasi demi melahirkan generasi yang cerdas, saleh dan berkahlaq mulia. Di
samping ketiga hal itu, rizki untuk membesarkan mereka pun harus halalan thayyiba
dan proteksi lingkungan pun tidak boleh dianggap remeh. Kecuali hal-hal yang
bersifat lahiriyah tersebut, maka usaha yang bersifat transedental pun harus
ditempuh, yaitu jangan lupa panjatkan do’a kepada Allah untuk kebaikan
anak-anak, karena doa merupakan suplemen gaib yang sangat ampuh. Lihatlah bagaimana
Nabiyullah Ibrahim ‘alaihissalam memohon kepada Tuhannya,
“Wahai Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk
orang-orang yang saleh.” (QS. Ash-Shaffat:100). Lihat pula Ali Imran :5-6
dan Al-Furqan :74.
Keempat, Al-Biah as-Sholihah. Yakni lingkungan
dan teman yang baik.
Lingkungan dan teman yang baik dapat melindungi iman dan akhlaq. Orang yang
mendapat hasanah di dunia sangat pandai memilih lingkungan dan teman
sepergaulan, walau ia luas pergaulannya tapi selektif dalam mencari kawan
sejawat. Kriteria kawan yang baik adalah yang mampu memberikan kontribusi
positif pada temannya, yakni saling nasehat menasehati supaya
mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. Rasulullah saw
memberikan bimbingan dalam hal memilih kawan seiring,
“Seseorang yang duduk (berteman) dengan
orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik
minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya,
engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan
pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar,
minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Lingkungan dan teman yang baik dapat menjadi wahana
berseminya iman, Islam, dan ihsan. Demikian pula
lingkungan dan teman yang buruk dapat membunuh bibit-bibit iman yang sudah
disemai Allah di dalam diri setiap insan, sebagaimana digambarkan Rasulullah saw
dalam sabdanya, “Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan
fitrah. Kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi seorang Yahudi, seorang
Nasrani maupun seorang Majusi.” (HR. al-Bukhari).
Kelima, Al-Maal al-Halal . Yakni
harta yang halal. Orang yang meraih hasanah di dunia dapat dilihat pula dari
ciri yang kelima ini, yaitu lurus dan benar dalam mencari rizki, istiqamah dalam
mencari harta yang halal. Ia tidak larut dalam
hiruk pikuk pergumulan kotor perebutan rizki. Baginya harta hanyalah alat hidup
dan sarana untuk ibadah kepada Allah, untuk itu kehalalan harta/rizki serta usaha mutlak tidak bisa dinegosiasi. Mencari
yang halal, memakan yang halal, memakai yang halal, membelanjakan yang halal,
berinfestasi yang halal dan mewariskan yang halal menjadi paradigma dalam hidup
seseorang yang meraih hasanah di dunia.
Harta yang halal mengandung barokah (kebaikan yang
melimpah) disamping memberi ketenangan batin dan keselamatan di akhirat.
Sebaliknya harta yang haram mendatangkan banyak masalah, selain menghilangkan
nilai berkahnya juga berdampak pada mubadzirnya aktivitas amal solih. Orang yang mengabaikan kehalalan harta dan
usaha, maka harta haram yang dimiliki dan dimanfaatkannya itu akan berakibat
kerugian pada dirinya. Bila harta yang haram itu digunakan buat menafkahi
keluarga, lenyaplah keberkahannya; bila dikeluarkan untuk sedekah, tidak
diterima; bila dimakan, tidak akan
pernah terkabul do’a; jika dipakai untuk ongkos dan bekal naik haji,
tertolaklah hajinya; jika untuk bersilaturahim, sia-sia pula silaturrahimnya, dan
puncak keburukan dari harta yang haram adalah kesengsaraan di hari kiamat. Nabi
saw. bersabda, “Siapa yang
dagingnya tumbuh dari (harta) yang haram maka neraka lebih pantas baginya.”
(HR. at-Tirmidzi).
Keenam, Tafaqquh
fid Dien. Artinya, orang
yang memperoleh hasanah di dunia memiliki semangat
untuk mempelajari
Islam. Ia selalu berusaha memperluas dan memperdalam ilmu pengetahuan
(pengertian, pemahaman, penghayatan dan penguasaan) tentang Islam dalam segala
seginya, sesuai dengan kemampuannya, tiap kesempatan, terus menerus, sampai
mati. Maka, ilmunya yang luas memperkuat imannya, imannya memantapkan komitmennya
kepada Islam, dan kominmennya kokoh mengangkat derajatnya di sisi Allah. ”Dan
agar orang-orang yang telah
diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al-Quran itulah
yang hak dari Tuhan-mu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka
kepadanya dan sesungguhnya
Allah adalah pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang
lurus.”(Al-Hajj :54).
Ketujuh, Al-Umru al-Barokah. Ciri terakhir hasanah di dunia adalah umur
yang berkah. Yang dimaksud dengan umur yang berkah adalah umur yang makmur
dengan amal solih. Semakin tambah usia semakin bertambah catatan kebaikan dan
amal saleh serta semakin mampu menutup segala pintu yang menuju dosa dan
maksiat. Orang seperti ini disebut oleh Rasulullah sebagai sebaik-baik manusia,
sebagaimana sabdanya, “Sebaik-baik manusia
ialah orang yang panjang umurnya dan bagus amalnya, dan seburuk-buruk manusia
ialah orang yang panjang umurnya dan buruk amalnya.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi dan al-Hakim). Dalam riwayat lain
dikatakan, “Barangsiapa yang harinya lebih baik dari hari kemarin, sungguh
dia telah beruntung….”
Membangun konsistensi dalam mengisi umur dengan amal
solih hingga akhir hayat bukanlah perkara mudah, kecuali orang-orang yang
diberi taufiq dan inayah oleh Alllah swt. Rasulullah saw bersabda, “Apabila Allah menghendaki kebaikan atas hamba-Nya,
maka Dia memperkerjakannya?” Para sahabat bertanya, ‘Bagaimana Allah
memperkerjakannya?’ Beliau menjawab, ”Allah memberinya taufiq untuk beramal
shalih sebelum kematiannya.” (HR.
Ahmad dan at-Tirmidzi dari Anas bin Malik)
Selanjutnya, bagian kedua
dari “doa sapu jagat” tersebut ialah “wa fil âkhirati hasanah”, yang
artinya “dan juga kebahagiaan akhirat”. Yang dimaksud dengan hasanah di akhirat adalah : terbebas dari rasa
takut, di Padang Mahsyar mendapat naungan Allah, meraih syafaat dari Rasulullah
saw, mendapat hisab yang ringan, selamat dalam menyeberangi jembatan antara dua
tepi neraka jahannam, selamat dari kebangkrutan pahala, mendapat ampunan dan ridha
Allah, menikmati surga yang abadi dan puncaknya dapat bertemu dengan Allah swt.
Akhirnya,
doa “sapu jagat” itu dipungkas dengan “wa qinâ ‘adzbânnâr” yang artinya “dan hindarkanlah kami adzab
api neraka”. Kenapa doa ini diakhiri dengan permintaan terhindarnya
dari api neraka?” Karena
kebaikan di akhirat – seperti masuk surga – bisa jadi diperoleh setelah
mengalami siksa terlebih dahulu. Maka penggalan ketiga dalam doa ini menjadi
penting. Semoga!!! Walahu A’lam
-----oOo-----
Tidak ada komentar:
Posting Komentar