Selasa, 03 Desember 2013

LANGKAH-LANGKAH PERAWATAN IMAN



LANGKAH-LANGKAH PERAWATAN IMAN


Iman tidak selamanya mantap, ia berfluktuasi, naik dan turun, bertambah dan berkurang, kadang stabil kadang labil. Abdullah bin Ahmad meriwayatkan, “Iman itu bertambah dan berkurang.” Naik turunnya iman tersebut tentu tidak terjadi dengan sendirinya melainkan dipengaruhi oleh banyak faktor, baik yang datang dari intra diri manusia itu sendiri maupun yang datang dari luar diri manusia.

Faktor-faktor internal manusia yang dapat mempengaruhi naik turunnya iman dapat disebutkan beberapa di antaranya. Pertama, setiap manusia memiliki potensi melakukan kesalahan. Manusia, siapapun orangnya, bisa saja terjebak dalam salah dan dosa. Al-Qur’an melukiskan,  "Sesungguhnya manusia itu, sangat zhalim dan sangat ingkar." (QS. Ibrahim [14]:34). Dalam hadits dinyatakan, "Orang mukmin itu seperti bulir, kadang lurus dan kadang bengkok." (HR. Ibnu Hibban dari anas). "Setiap manusia melakukan kesalahan ....." (HR. Ahmad,dll. dari Anas)

Maksiat dan dosa  yang dilakukan manusia dapat mengotori hatinya, sedangkan iman tidak akan pernah tumbuh dengan subur dalam hati yang kotor dan berkarat. Maka langkah yang harus kita tempuh untuk mengatasinya adalah dengan memperbanyak tobat dan istighfar.Rasulullah saw bersabda, ".....sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah yang banyak bertobat dan memohon ampunan (dari kesalahannya)," (HR. Ahmad, dll. dari Anas). Tobat dan istighfar selain dapat menghapus dosa juga dapat membuat hati bening kembali lalu iman akan tumbuh subur dan bersemi di dalamnya.

Allah adalah Dzat yang Maha Pengampun dan Penerima tobat, sangat suka memberi ampun dan mecintai hamba yang bertobat kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya, "Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan Dia (juga) mencintai orang-orang yang mensucikan diri." (QS. al-Baqarah [2]:222). Bahkan Allah sangat gembira dengan  taubat hamba-Nya sebagaimana dinyatakan Rasulullah saw dalam sabdanya, "Allah lebih berbahagia dengan tobat hamba-Nya daripada (bahagianya) seseorang di antara kalian yang menemukan kembali untanya yang telah hilang di sebuah tempat yang sepi." (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Rasulullah saw telah memberi  contoh dan tuntunan yang nyata kepada kita bahwa hari-harinya selalu diisi dengan tobat dan istighfar. Sahabat Abu Hurairah menceritakan, saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Demi Allah, sesungguhnya aku beristighfar (meminta ampunan) dan bertaubat kepada Allah dalam satu hari lebih dari tujuh puluh kali.” (HR.al-Bukhari dari Abu HUrairah r.a.).

Kedua, Hati manusia berkarakter berubah-ubah. Dalam bahasa Arab, hati disebut "qalb" yang berarti "bolak-balik", karena seringkali ia berbolak balik, yaitu bolak balik dalam sikap antara positif. Qalb sangat berpotensi untuk tidak konsisten. Inkonsistensinya hati membawa efek pada lemahnya iman, karena hati adalah wadah bagi iman sebagaimana hati bisa menjadi wadah bagi kekufuran.

Allah swt yang telah menciptakan manusia dan hatinya sekaligus paling mengetahui kondisi hatinya itu, karenanya Dia mengajarkan kepada kita cara untuk mengokohkan hati agar tetap dalam iman,

رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; Karena sesungguhnya Engkau-lah Maha pemberi (karunia)". (QS.Ali Imran [3]:8)

Rasulullah saw pun membimbing kita dengan do’a :
اَللَّهُمَّ مُقَلِّبَ الْقُلُوْبَ ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ

"Ya Allah, yang membolak balik hati, tetapkanlah hatiku atas agama-Mu."  (HR. Ibnu Mardawiyah).

Bila hati benar-benar baik, niscaya seluruh anggota tubuh menjadi baik pula, tingkah laku dan perbuatan pun menjadi lusrus dan benar. Tapi jika hati rusak, maka anggota tubuh lainnya tidak dapat lagi terselamatkan dan perilaku serta perbuatan pun pasti menyimpang. Sebagian ulama` mengatakan bahwa, “Penawar hatimu saat sedang membatu ada lima. Tetapilah kelima hal itu, niscaya kamu beruntung dengan memperoleh banyak kebaikan dan kemenangan. Yaitu : Perut yang senantiasa kosong (sering berpuasa), membaca Al-Qur`an dengan tadabbur, tunduk istighfar kepada Allah di waktu sahur (akhir malam), mengerjakan shalat malam, dan duduk atau berteman dengan orang-orang saleh yang banyak ilmunya”.

Ibnul Qayyim al-Jauziah berkata, “Carilah hatimu pada tiga tempat: saat mendengarkan Al-Qur`an, ketika dalam majlis dzikir, dan  diwaktu sedang menyendiri. Jika kamu tidak mendapatinya pada ketiga tempat tadi, maka memohonlah kepada Allah agar kamu diberi hati, karena kamu tidak memiliki hati lagi.”
 
Ketiga, Hawa Nafsu. Hawa nafsu adalah keinginan hati untuk memperoleh apa yang dihasratkan dengan melanggar ketentuan Allah swt dan Rasul-Nya. Kecenderungan hawa nafsu adalah kepada hal-hal yang buruk walaupun secara sadar tahu akibat keburukan itu. Sifat lain dari hawa nafsu adalah selalu ingin senang, santai-santai dan enggan beramal, tenggelam dalam kesenangan meskipun akibatnya merana dan celaka. Allah swt berfirman dalam mengisahkan Nabi Nabi Yusuf as. ketika ia hampir terjebak dalam rayuan wanita yang tergila-gila dengannya. Berkatalah Nabi Yusuf as., "Dan Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha penyanyang." (QS. Yusuf [12]:53

Ali bin Abi Thalib mengatakan, "Dua perkara yang aku takutkan atas kalian : mengikuti hawa nafsu dan panjang angan-angan. Karena sesungguhnya mengikuti hawa nafsu dapat menghalangi dari kebenaran, dan panjang angan-angan dapat melupakan akhirat."

Langkah apa yang harus kita lakukan untuk mengendalikan kekuatan hawa nafsu itu? Mujahadah, yakni berjuang melawan hawa nafsu dan mengasuhnya hingga ia menjadi muthmainnah (tenang dan tenteram), serta suci dan bersih. Allah swt berfirman, "Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Maka sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya)." (QS. an-Nazi'at [79]:40-41)

Abu Hafs berkata, "Siapa yang tidak menuduh hawa nafsunya sepanjang masa, dan tidak menentangnya dalam segala hal, dan tidak menariknya ke jalan kebaikan, maka ia telah tertipu."

Keempat, Syahwat dan ghirah,  yaitu keinginan untuk memiliki dan menikmati keduniaan serta mempertahankan apa yang sudah dimiliki. Setiap manusia pasti memendam hasrat untuk memiliki dan menikmati gemerlapnya kehidupan duniawi, sebagaimana dilukiskan oleh Al-Qur’an, "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)." (QS. Ali Imran [3]:14).

Firman-Nya lagi, ”Sekali-kali janganlah demikian. Sebenarnya kamu (hai manusia) mencintai kehidupan dunia dunia dan meninggalkan (kehidupan) akhirat.” (QS. Al-Qiyamah [75]:20-21). ”Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” (QS, al-Fajr [89]:20).

Rasulullah saw bersabda, "Anak Adam menjadi tua dan dua hal tetap menyertainya, yaitu ambisi dan angan-angan." (HR. Mulsim).

Sabdanya pula, "Hati orang tua tetap muda dalam mencintai dua hal; kehidupan yang panjang dan cinta harta." (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Sabdanya lagi, "Salah seorang di antara kamu tidak menantikan sesuatu dari dunia kecuali kekayaan yang melampaui batas..." (HR. at-Tirmidizi).

Syahwat atau cinta dunia yang berlebihan, perasaan tenteram terhadapnya akan melahirkan  berbagai keburukan, seperti rakus dan  tamak. Inilah yang dinyatakatan  Rasulullah saw dalam sabdanya, "Cinta dunia (yang diumbar) adalah pangkal setiap kesalahan." (HR. Al-Baihaqi).

Rakus sebagai akibat dari cinta dunia yang berlebihan adalah keadaan hati yang tak pernah merasa cukup dan puas dengan apa yang sudah dimiliki, selalu haus dan dahaga dengan kemewahan sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits, "Seandainya anak cucu Adam memperoleh dua lembah yang berisi emas, niscaya dia akan meminta tiga lembah. Tidak akan pernah penuh mulut anak cucu Adam kecuali ditutup dengan tanah (meninggal dunia). Dan akan memberi tobat yaneg bertobat." (Muttafaqun 'Alaih). Hadits ini sejalan dengan firman Allah swt, “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke lubang kubur.” (QS. At-Takatsur [102]:1-2)

Ghirah atau keinginan untuk mempertahanknakan apa yang sudah dimiliki melahirkan sifat  kikir. Orang yang kikir tidak mau mendermakan apa yang menjadi miliknya kepada siapapun. Karena itu kikir adalah sifat buruk yang sangat dibenci Allah saw. Rasulullah saw bersabda, "Seburuk-buruk sesuatu yang ada pada seseorang adalah kekikiran yang menyedihkan dan sifat pengecut yang melucuti." (HR. Abu Dawud).

Beliau bersabda lagi, "Tiga hal yang membinasakan : Kekikiran yang diperturutkan, hawa nafsu yang diumbar, dan kekaguman seseorang terhadap dirinya." (HR. ath-Thabrani).

 Nabi saw pernah berdo'a, "Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kekikiran, dari sifat pengecut, dan dari usia yang paling buruk (pikun)." (HR. Muttafaqun 'Alaih).

Bagaimana mengatasinya? Tidak syak lagi bahwa mengembangkan sikap  Zuhud, wara', Qana'ah dan  syukur akan dapat mengendalikannya. Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia lalu membenci dan mengharamkannya. Zuhud adalah tidak menjadikan kedunian sebagai tujuan hidup dan tidak menjadikan diri sebagai hamba uang. Zuhud adalah menjadikan keduniaan sebagai sarana untuk memperluas ibadah kepada Allah swt. Jadi, zuhud  tidak harus miskin. Orang miskin belum tentu zuhud, dan orang kaya belum tentu tidak zuhud. Rasulullah saw bersabda, "Zuhud di dunia tidak dengan mengharamkan yang halal dan tidak membuang harta, tetapi zuhud di dunia ialah bahwa engkau lebih percaya kepada apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu; dan apabila mendapatkan kesulitan dunia, engkau lebih senang kekal padamu supaya engkau dapat ganjarannya." (HR at-Tirmidzi).

Wara'  ialah sikap cermat dan hati dalam bertindak dan berbuat. Ciri-ciri wara' antara lain menjauhi perkara yang syubhat (yang samar halal haramnya) karena takut jatuh, meninggalkan sesuatu yang meragukan kepada sesuatu yang tidak meragukan, mengambil yang lebih dipercayai, dan memaksa diri mengerjakan yang lebih utama, memperhatikan makanan, minuman, pakaian dan meninggalkan sesuatu yang ada apa-apa padanya, dll. Rasulullah saw bersabda, “Seorang hamba tidak akan sampai derajat muttaqin sehingga dia meninggalkan apa yang tidak berdosa karena takut terhadap apa yang berdosa.” (HR. At-Tirmizi, Ibnu Majah dan al-Hakim) . sabdanya pula, Termasuk kesempurnaan taqwa ialah kehendak seseorang hamba bertaqwa dalam masalah kecil sebesar biji sawi sekalipun sehingga dia meninggalkan sebagian dari yang dilihatnya halal karena takut menjadi haram, agar menjadi penghalang antara dirinya dengan neraka.”

Qana'ah  artinya  mencukupkan apa yang telah menjadi bagiannya setelah berusaha. Qana'ah merupakan basis menghadapi hidup, menerbitkan kesungguhan hidup dan menimbulkan energi kerja untuk mencari rizki. Jadi, Qana'ah adalah giat bekerja, rajin berusaha tetapi juga percaya akan taqdir yang diperoleh sebagai hasil usaha. Dimata orang yang qana'ah, kekayaan yang sebenarnya terletak pada kekayaan jiwa, bukan kekayaan harta benda. Ia akan merasa puas dengan rezki yang diperolehnya dan tidak terlalu memperkaya diri dengan tidak memperhatikan dari mana datangnya rezeki itu. Dari qana’ah ini lahirlah rasa syukur ialah pernyataan terima kasih atas segala nikmat yang diterima  dalam bentuk ucapan dan tindakan.

Dengan zuhud, wara', qana'ah dan syukur seseorang akan berada dalam kemantapan jiwa dan perilaku yang pada gilirannya akan dapat memperkokoh iman dan aqidahnya.

Inilah di antara faktor-faktor internal yang dapat mempengaruhi naik turunnya dan cara-cara mengatasinya.

Adapun faktor eksternal yang berpengaruh pada naik turunnya iman adalah situasi dan kondisi yang tidak kondusif berupa  penyimpangan-penyimpangan dan perilaku buruk yang terjadi dalam segala bidang kehidupan. Baik kerusakan di bidang pemikiran, tingkah laku, politik, ekonomi, sosial, moral, seni budaya dan kerusakan-kerusakan lainnya yang semakin memprihatinkan. Kondisi negatif itu pada gilirannya dapat melemahkan iman bahkan menghancurkannya. Karena itu, tajdidul iman (pembaharuan dan perawatan iman)  secara intensif dan terus-menerus mutlak harus dilakukan oleh setiap muslim sesuai dengan pesan Rasulullah saw , “Sesungguhnya iman bisa menjadi usang, sebagaimana usangnya baju seseorang dari kamu. Karena itu, mohonlah kepada Allâh agar (selalu) memperbaharui iman di dalam hati kamu.” (Silsilah Shahihah 4/113, no. 1585).

Jika iman senantiasa terawat kesegarannya, terpantau kebugarannya, mantap dan kokoh bersemayan dalam kalbu insya Allah kita akan bisa memenuhi pesan Allah saw dalam Al-Qur’an, yaitu kembali kepada-Nya dalam keadaan Iman dan Islam. Allah swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”. (QS. Ali Imran [3]102). Amin, Allohbu A’lam bishshawab.

-----oOo-----
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar