LANGKAH-LANGKAH PERAWATAN IMAN
Iman tidak selamanya mantap, ia berfluktuasi, naik
dan turun, bertambah dan berkurang, kadang stabil kadang labil. Abdullah bin
Ahmad meriwayatkan, “Iman itu bertambah dan berkurang.” Naik
turunnya iman tersebut tentu
tidak terjadi dengan sendirinya melainkan dipengaruhi oleh banyak faktor, baik
yang datang dari intra diri manusia itu sendiri maupun yang datang dari luar
diri manusia.
Faktor-faktor
internal manusia yang dapat mempengaruhi naik turunnya iman dapat disebutkan
beberapa di antaranya. Pertama, setiap manusia memiliki potensi melakukan
kesalahan. Manusia, siapapun orangnya, bisa
saja terjebak dalam salah dan dosa. Al-Qur’an melukiskan, "Sesungguhnya
manusia itu, sangat zhalim dan sangat
ingkar." (QS. Ibrahim
[14]:34). Dalam hadits
dinyatakan, "Orang
mukmin itu seperti bulir, kadang lurus
dan kadang bengkok." (HR. Ibnu Hibban dari
anas). "Setiap manusia melakukan kesalahan ....." (HR. Ahmad,dll. dari Anas)
Maksiat dan dosa yang dilakukan manusia dapat mengotori hatinya,
sedangkan iman tidak akan pernah tumbuh dengan subur dalam hati yang kotor dan
berkarat. Maka langkah yang harus kita tempuh untuk mengatasinya adalah dengan
memperbanyak tobat dan istighfar.Rasulullah saw bersabda, ".....sebaik-baik
orang yang melakukan kesalahan adalah yang banyak bertobat dan memohon ampunan (dari
kesalahannya)," (HR. Ahmad, dll. dari Anas). Tobat dan istighfar selain dapat menghapus dosa juga dapat membuat hati bening kembali lalu iman akan tumbuh subur
dan bersemi di dalamnya.
Allah adalah Dzat
yang Maha Pengampun dan Penerima tobat, sangat suka memberi ampun dan mecintai hamba yang bertobat
kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya, "Sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan Dia (juga) mencintai orang-orang
yang mensucikan diri." (QS. al-Baqarah [2]:222). Bahkan Allah sangat gembira dengan taubat hamba-Nya sebagaimana dinyatakan Rasulullah saw dalam sabdanya, "Allah lebih berbahagia dengan
tobat hamba-Nya daripada (bahagianya) seseorang di antara kalian yang menemukan
kembali untanya yang telah hilang di sebuah tempat yang sepi." (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Rasulullah
saw telah memberi contoh dan tuntunan
yang nyata kepada kita bahwa hari-harinya selalu diisi dengan tobat dan
istighfar. Sahabat Abu Hurairah menceritakan, saya
mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Demi Allah, sesungguhnya aku
beristighfar (meminta ampunan) dan bertaubat kepada Allah dalam satu hari lebih
dari tujuh puluh kali.” (HR.al-Bukhari dari Abu HUrairah r.a.).
Kedua, Hati manusia berkarakter berubah-ubah. Dalam bahasa Arab, hati disebut "qalb" yang berarti
"bolak-balik", karena seringkali ia berbolak balik, yaitu bolak balik
dalam sikap antara positif. Qalb sangat berpotensi untuk tidak
konsisten. Inkonsistensinya
hati membawa efek pada lemahnya iman, karena hati adalah wadah bagi iman
sebagaimana hati bisa menjadi wadah bagi kekufuran.
Allah swt yang
telah menciptakan manusia dan hatinya sekaligus paling mengetahui kondisi
hatinya itu, karenanya Dia mengajarkan kepada kita cara untuk mengokohkan hati
agar tetap dalam iman,
رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا
وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami
condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan
karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; Karena sesungguhnya
Engkau-lah Maha pemberi (karunia)". (QS.Ali Imran [3]:8)
Rasulullah saw pun membimbing kita dengan do’a :
اَللَّهُمَّ مُقَلِّبَ
الْقُلُوْبَ ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ
"Ya Allah, yang membolak balik hati, tetapkanlah
hatiku atas agama-Mu." (HR. Ibnu Mardawiyah).
Bila hati benar-benar baik, niscaya seluruh anggota tubuh menjadi baik pula,
tingkah laku dan perbuatan pun menjadi lusrus dan benar. Tapi jika hati rusak, maka
anggota tubuh lainnya tidak dapat lagi terselamatkan dan perilaku serta
perbuatan pun pasti menyimpang. Sebagian ulama` mengatakan bahwa, “Penawar hatimu saat sedang membatu ada
lima. Tetapilah kelima hal itu, niscaya kamu beruntung dengan memperoleh banyak
kebaikan dan kemenangan. Yaitu : Perut yang senantiasa kosong (sering
berpuasa), membaca Al-Qur`an dengan tadabbur, tunduk istighfar kepada Allah di
waktu sahur (akhir malam), mengerjakan shalat malam, dan duduk atau berteman
dengan orang-orang saleh yang banyak ilmunya”.
Ibnul Qayyim al-Jauziah berkata, “Carilah hatimu pada tiga tempat: saat
mendengarkan Al-Qur`an, ketika dalam majlis dzikir, dan diwaktu sedang menyendiri. Jika kamu tidak
mendapatinya pada ketiga tempat tadi, maka memohonlah kepada Allah agar kamu
diberi hati, karena kamu tidak memiliki hati lagi.”
Ketiga, Hawa Nafsu. Hawa nafsu
adalah keinginan hati untuk memperoleh apa yang dihasratkan dengan melanggar
ketentuan Allah swt dan Rasul-Nya. Kecenderungan hawa nafsu adalah kepada
hal-hal yang buruk walaupun secara sadar tahu akibat keburukan itu. Sifat lain
dari hawa nafsu adalah selalu ingin senang, santai-santai dan enggan beramal, tenggelam dalam
kesenangan meskipun akibatnya merana dan celaka. Allah swt
berfirman dalam mengisahkan Nabi Nabi Yusuf as. ketika ia hampir terjebak dalam rayuan wanita yang
tergila-gila dengannya. Berkatalah Nabi Yusuf as., "Dan Aku tidak
membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu
menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun
lagi Maha penyanyang." (QS. Yusuf [12]:53
Ali bin Abi Thalib mengatakan, "Dua perkara yang aku takutkan atas kalian : mengikuti hawa nafsu dan panjang
angan-angan. Karena sesungguhnya mengikuti hawa nafsu dapat menghalangi dari
kebenaran, dan panjang angan-angan dapat melupakan akhirat."
Langkah apa yang harus kita lakukan untuk mengendalikan kekuatan hawa nafsu
itu? Mujahadah, yakni berjuang melawan hawa nafsu dan mengasuhnya hingga ia menjadi
muthmainnah (tenang dan tenteram), serta suci dan bersih. Allah swt berfirman, "Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran
Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Maka sesungguhnya
syurgalah tempat tinggal(nya)." (QS. an-Nazi'at [79]:40-41)
Abu Hafs berkata, "Siapa yang tidak menuduh hawa nafsunya sepanjang
masa, dan tidak menentangnya dalam segala hal, dan tidak menariknya ke jalan
kebaikan, maka ia telah tertipu."
Keempat, Syahwat dan
ghirah, yaitu keinginan untuk
memiliki dan menikmati keduniaan serta mempertahankan apa yang sudah dimiliki. Setiap manusia pasti memendam hasrat untuk memiliki dan
menikmati gemerlapnya kehidupan duniawi, sebagaimana dilukiskan oleh Al-Qur’an,
"Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)." (QS. Ali Imran [3]:14).
Firman-Nya lagi, ”Sekali-kali janganlah demikian. Sebenarnya kamu (hai manusia) mencintai
kehidupan dunia dunia dan meninggalkan (kehidupan) akhirat.” (QS. Al-Qiyamah [75]:20-21). ”Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang
berlebihan.” (QS, al-Fajr
[89]:20).
Rasulullah saw bersabda, "Anak Adam menjadi tua dan dua hal
tetap menyertainya, yaitu ambisi dan angan-angan." (HR. Mulsim).
Sabdanya pula, "Hati orang
tua tetap muda dalam mencintai dua hal; kehidupan yang panjang dan cinta harta." (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Sabdanya lagi, "Salah
seorang di antara kamu tidak menantikan sesuatu dari dunia kecuali kekayaan
yang melampaui batas..." (HR. at-Tirmidizi).
Syahwat atau cinta dunia yang berlebihan, perasaan
tenteram terhadapnya akan melahirkan
berbagai keburukan, seperti rakus
dan tamak. Inilah yang dinyatakatan Rasulullah saw dalam sabdanya, "Cinta
dunia (yang diumbar) adalah pangkal setiap kesalahan." (HR. Al-Baihaqi).
Rakus sebagai akibat dari cinta dunia yang berlebihan adalah keadaan hati yang
tak pernah merasa cukup dan puas dengan apa yang sudah dimiliki, selalu haus
dan dahaga dengan kemewahan sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits, "Seandainya anak cucu Adam
memperoleh dua lembah yang berisi emas, niscaya dia akan meminta tiga lembah.
Tidak akan pernah penuh mulut anak cucu Adam kecuali ditutup dengan tanah
(meninggal dunia). Dan akan memberi tobat yaneg bertobat." (Muttafaqun 'Alaih). Hadits ini sejalan dengan firman Allah swt, “Bermegah-megahan
telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke lubang kubur.” (QS. At-Takatsur
[102]:1-2)
Ghirah atau keinginan untuk mempertahanknakan apa yang sudah dimiliki
melahirkan sifat kikir. Orang yang kikir
tidak mau mendermakan apa yang menjadi miliknya kepada siapapun. Karena itu
kikir adalah sifat buruk yang sangat dibenci Allah saw. Rasulullah saw bersabda,
"Seburuk-buruk
sesuatu yang ada pada seseorang adalah kekikiran yang menyedihkan dan sifat
pengecut yang melucuti." (HR. Abu Dawud).
Beliau bersabda lagi, "Tiga hal yang membinasakan : Kekikiran yang diperturutkan, hawa nafsu
yang diumbar, dan kekaguman seseorang terhadap dirinya." (HR. ath-Thabrani).
Nabi saw pernah berdo'a, "Ya Allah, sesungguhnya
aku berlindung kepada-Mu dari kekikiran, dari sifat pengecut, dan dari usia yang paling buruk
(pikun)." (HR. Muttafaqun
'Alaih).
Bagaimana mengatasinya? Tidak syak lagi bahwa mengembangkan sikap Zuhud, wara', Qana'ah dan syukur akan dapat mengendalikannya. Zuhud bukan berarti
meninggalkan dunia lalu membenci dan mengharamkannya. Zuhud adalah tidak
menjadikan kedunian sebagai tujuan hidup dan tidak menjadikan diri sebagai hamba
uang. Zuhud adalah menjadikan keduniaan sebagai sarana untuk memperluas ibadah
kepada Allah swt. Jadi, zuhud tidak
harus miskin. Orang miskin belum tentu zuhud, dan orang kaya belum tentu tidak
zuhud. Rasulullah saw
bersabda, "Zuhud di dunia tidak dengan
mengharamkan yang halal dan tidak membuang harta, tetapi zuhud di dunia ialah
bahwa engkau lebih percaya kepada apa yang ada di tangan Allah daripada apa
yang ada di tanganmu; dan apabila mendapatkan kesulitan dunia, engkau lebih
senang kekal padamu supaya engkau dapat ganjarannya." (HR at-Tirmidzi).
Wara' ialah sikap cermat dan hati dalam bertindak dan berbuat. Ciri-ciri wara'
antara lain menjauhi perkara yang syubhat (yang samar halal haramnya) karena takut jatuh, meninggalkan
sesuatu yang meragukan kepada sesuatu yang tidak meragukan, mengambil yang lebih dipercayai, dan memaksa diri mengerjakan yang lebih
utama, memperhatikan makanan, minuman, pakaian dan meninggalkan
sesuatu yang ada apa-apa padanya, dll. Rasulullah saw bersabda, “Seorang
hamba tidak akan sampai derajat muttaqin sehingga dia meninggalkan apa yang
tidak berdosa karena takut terhadap apa yang berdosa.” (HR. At-Tirmizi, Ibnu Majah dan al-Hakim) . sabdanya pula, Termasuk kesempurnaan taqwa ialah kehendak seseorang hamba
bertaqwa dalam masalah kecil sebesar biji sawi sekalipun sehingga dia
meninggalkan sebagian dari yang dilihatnya halal karena takut menjadi haram,
agar menjadi penghalang antara dirinya dengan neraka.”
Qana'ah artinya
mencukupkan
apa yang telah menjadi bagiannya setelah berusaha. Qana'ah merupakan basis
menghadapi hidup, menerbitkan kesungguhan hidup dan menimbulkan energi kerja
untuk mencari rizki. Jadi, Qana'ah adalah giat bekerja, rajin berusaha tetapi
juga percaya akan taqdir yang diperoleh sebagai hasil usaha. Dimata orang yang
qana'ah, kekayaan yang sebenarnya terletak pada kekayaan jiwa, bukan kekayaan
harta benda. Ia
akan merasa puas dengan rezki yang diperolehnya dan tidak terlalu memperkaya
diri dengan tidak memperhatikan dari mana datangnya rezeki itu. Dari qana’ah ini lahirlah rasa syukur ialah pernyataan terima
kasih atas segala nikmat yang diterima
dalam bentuk ucapan dan tindakan.
Dengan zuhud, wara', qana'ah dan syukur
seseorang akan berada dalam kemantapan jiwa dan perilaku yang pada gilirannya
akan dapat memperkokoh iman dan aqidahnya.
Inilah di antara faktor-faktor internal
yang dapat mempengaruhi naik turunnya dan cara-cara mengatasinya.
Adapun faktor eksternal yang berpengaruh pada naik turunnya iman adalah
situasi dan kondisi yang tidak kondusif berupa penyimpangan-penyimpangan dan perilaku buruk
yang terjadi dalam segala bidang kehidupan. Baik kerusakan di bidang pemikiran,
tingkah laku, politik, ekonomi, sosial, moral, seni budaya dan
kerusakan-kerusakan lainnya yang semakin memprihatinkan. Kondisi negatif itu
pada gilirannya dapat melemahkan iman bahkan menghancurkannya. Karena itu,
tajdidul iman (pembaharuan dan perawatan iman) secara intensif dan
terus-menerus mutlak harus dilakukan oleh setiap muslim sesuai
dengan pesan Rasulullah saw , “Sesungguhnya iman bisa menjadi usang,
sebagaimana usangnya baju seseorang dari kamu. Karena itu, mohonlah kepada
Allâh agar (selalu) memperbaharui iman di dalam hati kamu.” (Silsilah
Shahihah 4/113, no. 1585).
Jika iman senantiasa terawat
kesegarannya, terpantau kebugarannya, mantap dan kokoh bersemayan dalam kalbu
insya Allah kita akan bisa memenuhi pesan Allah saw dalam Al-Qur’an, yaitu
kembali kepada-Nya dalam keadaan Iman dan Islam. Allah swt berfirman, “Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa
kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan
beragama Islam”. (QS. Ali Imran [3]102). Amin, Allohbu A’lam bishshawab.
-----oOo-----
Tidak ada komentar:
Posting Komentar